Senin, 28 Maret 2016

The 5th Wave, Five Steps to Wipe Out The Human Race


Another apocalypse movie dengan alien sebagai penyebabnya. Mengisahkan Cassie, seorang gadis remaja biasa yang harus bertahan hidup setelah kedatangan alien ke bumi. Alien ini melancarkan serangan bukan dengan kekerasan, tetapi dengan beberapa cara:

1st wave: mematikan elektromagnetik sehingga tidak ada lagi listrik dan jaringan komunikasi di bumi.
2nd wave: disaster, seperti gempa dan tsunami
3rd wave: wabah penyakit
4th wave: para alien yang memasuki tubuh manusia
5th wave: ….yah, silahkan nonton hehe…


Bisa dibilang film ini sangat undergrade walaupun diangkat dari novel sci-fi dengan judul sama. Kualitas dan penyajiannya terkesan sangat sederhana dan terburu-buru. Sewaktu lihat trailernya, kesannya wah dan megah, tapi ketika ditonton malah amburadul. Ditambah ending nya yang bikin ‘what the…’ Mungkin lebih baik jika membaca novelnya saja.
Dua hal yang agak bisa dinikmati dari film ini adalah akting Chloe sebagai Cassie dan background music nya yang berkesan alien. Other than that, semuanya datar. Bahkan chemistry antara Cassie dan Evan juga gak ada sama sekali. Evan cuma eye-catching saja.


Satu hal yang mengganjal selama nonton film ini. Ayah, ibu, dan adik Cassie semuanya berambut gelap, kenapa Cassie rambutnya pirang?


Nilai: 4,5/10
 




Minggu, 27 Maret 2016

The Maze Runner: The Scorch Trials, What Happens Outside The Maze


Petualangan Thomas dkk setelah berhasil keluar dari Maze. Awalnya mereka mengira telah aman, namun ternyata bahaya yang lebih besar menghadang. Kira-kira seperti itulah tema sekuel dari film The Maze Runner. Bila di film pertama kita melihat bagaimana mereka mencari cara untuk keluar dari Maze, di film yang kedua ini mereka dihadapkan pada real world.

Sedikit demi sedikit mulai terkuak tentang masa lalu Thomas walaupun masih ada misteri disana-sini. Termasuk juga apa yang terjadi dengan dunia luar. Menurut saya, The Maze Runner merupakan film young adult  terbaik dengan karakter utama laki-laki. Setelah disuguhi aksi heroik para perempuan pemberani lewat Divergent dan The Hunger Games, The Maze Runner bisa dibilang memberikan suasana baru.

Kekuatan utama series The Maze Runner adalah plotnya yang konsisten dan chemistry antara para pemainnya yang sangat bagus. Persahabatan dan kekompakan sangat terasa, dua hal yang sangat saya suka dari film ini.


Seperti film pertamanya, The Scorch Trials juga belum terlalu jauh dari prekuelnya. Ditambah beberapa karakter baru, film kedua ini memberikan aksi yang lebih tegang. Sebaiknya persiapkan diri anda sebelum menonton film yang berdurasi dua jam ini karena 30 menit pertama saja adegan aksinya sudah mulai dan tidak berhenti hingga akhir. Sayang, kan, kalau mesti berhenti cuma karena kebelet hihi...

Yang pasti, tidak sabar menunggu seri akhir dari series ini, Death Cure, yang rencananya akan tayang tahun depan. Semoga tidak anti-klimaks seperti The Hunger Games.
 



Rabu, 23 Maret 2016

Peeta Mellark, The Boy with The Bread



“You could live a hundred lifetimes and never deserve that boy.” - Haymitch Abernathy to Katniss Everdeen


Sewaktu saya share di Path sedang menonton The Hunger Games, salah satu teman ada yang komen “Don’t like Peeta, though.” Sewaktu film ketiganya baru akan muncul, saya juga sempat ngobrol dengan teman FB soal Peeta dan Katniss di film yang lebih kelihatan seperti adik-kakak daripada sepasang kekasih. Apalagi melihat Liam Hemsworth yang memerankan Gale, saingan Peeta di film dan di buku untuk merebut hati Katniss. Tinggi, gagah, handsome…dan Peeta yang kecil begitu hahaha….sorry…
Tapi, justru itu yang  membuat saya penasaran tentang sosok Peeta Mellark di Hunger Games.

Ilustrasi Peeta di novel Hunger Games edisi Britania Raya




Satu hal yang pasti, jangan salahkan Josh Hutcherson yang memerankan Peeta di film kalau dia tidak tinggi. Di buku pun, bagi yang sudah baca dan pay attention, Peeta memang tidak begitu tinggi. Tapi, karena ayahnya seorang pembuat roti, dia sudah terbiasa membantu ayahnya di toko roti. Mengangkat karung tepung dan alat-alat yang berat, membuat badannya walaupun kecil, tapi tegap. Dua hal yang cukup oke diperlihatkan Josh di film. Berambut pirang dan bermata biru.  I think he is good looking too.
Walaupun tidak dijelaskan secara detil di film, berdasarkan Tributes Guide, Peeta cukup mahir menggunakan pisau dan tombak walaupun jarang digunakan karena pada dasarnya ia tidak suka membunuh kecuali dalam keadaan terdesak. Kelebihannya yang lain selain piawai dalam hal membuat roti adalah dalam seni melukis dan dibuktikannya dengan menyamar dan bersembunyi di bawah batu pada saat ia terluka di Hunger Games sebelum ditemukan oleh Katniss.

Josh Hutcherson sebagai Peeta Mellark di franchise film Hunger Games







Kita memang tidak begitu tahu soal latar belakang keluarga Mellark karena cerita The Hunger Games diceritakan dari sudut pandang Katniss. Pembaca baru tahu tentang keluarga Peeta dari percakapan Peeta dan Katniss.

Dari sekian banyak tokoh laki-laki di cerita young adult yang akhirnya dijadikan film, Peeta memang berbeda. Bila kebanyakan diceritakan tangguh dan ready menjadi  hero, Peeta justru kebalikannya. Dia sosok yang sensitif dan baik hati. Berbeda dengan Katniss,  he is not a warrior.  Dia masuk Hunger Games memang karena namanya dipanggil dan sudah tahu sejak awal tidak akan bisa bertahan hingga akhir. Tujuannya hanya untuk melindungi Katniss dan berusaha agar gadis itu bisa menang dan pulang ke keluarganya.

Suzanne Collins tidak pernah menjelaskan asal nama Peeta, tapi dalam bahasa Latin, pita berarti 'roti'. Masuk akal dengan latar belakang keluarganya yang memang pembuat roti. Ada juga sumber yang menyebutkan namanya berarti 'batu', yang menjadi simbol bahwa ia adalah pondasi bagi Katniss. Dibuktikan dengan Katniss yang mengalami breakdown di Mockingjay ketika mengetahui Peeta disiksa selama ditawan di Capitol.


Peeta di Catching Fire. How can you say no when a guy is looking at you like that?






Latar belakang keluarga Peeta bisa dibilang agak bisa dijumpai di kehidupan nyata. Punya dua saudara laki-laki, ayah yang baik, tapi ibu yang tidak begitu baik. Peeta tahu ayahnya mencintai wanita lain (ibunya Katniss) dan ibunya hanya pilihan yang kedua, maka dia tidak pernah protes menanggapi sikap ibunya yang dingin dan suka memukulinya. Bisa dibilang Suzanne Collins sebagai pengarang novel memberikan domestic abuse history untuk Peeta, almost like the things that happen in real life. Hal ini juga yang membuatnya menjadi pribadi yang sensitif (disebutkan juga sifat Peeta sangat mirip dengan ayahnya yang lembut dan penuh perhatian) dan cenderung menutup diri dan mungkin membuatnya melihat Katniss sebagai sosok yang menggambarkan masa kecil yang indah dan seiring berjalannya waktu, berharap bisa hidup bersama gadis pujaannya.
Tidak dijelaskan bagaimana reaksi keluarganya setelah mengetahui Peeta telah menyimpan perasaan kepada Katniss sejak masih kanak-kanak, terlebih lagi dengan sandiwara ia dan Katniss sebagai sepasang kekasih. Di Catching Fire pun dikisahkan Peeta tinggal sendiri di Victor's Village, blok rumah khusus bagi para pemenang Hunger Games, setelah event Hunger Games. Latar belakang keluarga Peeta sebagai Merchant sedangkan Katniss yang berasal dari golongan Seam menjadi momok tersendiri di Distrik 12, walaupun di novel pertamanya digambarkan Peeta tidak peduli terhadap hal itu ketika Katniss menyinggung soal perbedaan status sosial mereka. Keluarga Peeta tewas pada saat pengeboman Distrik 12 menjadikannya satu-satunya keluarga Mellark yang tersisa.


Peeta di Mockingjay




Di Mockingjay, Capitol memang membuatnya menjadi pribadi yang lain, tapi serapih apapun manusia berusaha, inner power memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekuat apapun Capitol berusaha membuat Peeta membenci dan membunuh Katniss, pada kenyataannya ingatan bawah sadarnya yang mencintai Katniss yang membuatnya bisa bertahan. Walaupun prosesnya sangat lama, tapi akhirnya Peeta bisa kembali ke dirinya yang dulu.

I, personally, think Catching Fire Peeta versi film is the best. Selain terlihat lebih dewasa, terlihat juga lebih charming. Ditambah situasi yang complicated, membuat Peeta di film yang kedua lebih endearing.

Hubungan Katniss dan Peeta naik-turun sepanjang cerita Hunger Games. Sifatnya yang sensitif membuatnya tidak bisa melupakan sang gadis walaupun ia tahu Katniss menyimpan perasaan terhadap Gale. Rasa cintanya ia tunjukkan dengan selalu memberi gadis itu dukungan dan berusaha untuk melindunginya sewaktu di arena. Hal ini yang sebetulnya menjadi poin plus. Being in the arena twice, Katniss dan Peeta memiliki hubungan yang sangat kuat. Lebih kuat daripada Katniss yang sudah mengenal Gale bertahun-tahun. Ketika Peeta ditawan Capitol, Katniss berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya dan menyadari betapa Peeta lebih berarti baginya dibandingkan dengan Gale.

It needs Capitol to hijack Peeta to make Katniss realizes how important he is for her. Just like President Snow said “It’s the things we love most that destroy us.” Memang masuk akal kalau Haymitch, mentor Peeta dan Katniss, berkata Katniss tidak pernah bisa layak untuk Peeta. Karena walaupun Peeta berakting seolah-olah ia mencintai Katniss untuk melindungi gadis itu, pada kenyataannya Peeta memang mencintai Katniss dengan tulus. Berbeda dengan Edward Cullen, Peeta hanya anak laki-laki biasa (mind you…Peeta dan Katniss baru berumur 15 tahun di buku Hunger Games yang pertama) yang menyukai seorang gadis sejak kecil, terlalu malu untuk mengajaknya bicara, tapi mau menerima pukulan ibunya ketika ia sengaja membuat satu roti gosong agar bisa diberikan pada sang gadis ketika ia kelaparan. Motivasinya selama cerita Hunger Games bahkan ketika dicuci otak oleh Capitol dan berjuang untuk bertahan pun murni karena cinta.

So, walaupun kelihatan sebagai adik-kakak di film, tapi setelah ini mudah-mudahan banyak yang berubah pikiran haha…modus.

Like I said, Hunger Games bukan kisah cinta. Yang membuat saya lebih simpati kepada Peeta adalah karena dia berada di posisi yang sama dengan Katniss ketika mulai berada di Hunger Games. Just trying to survive and keep each other alive, tapi akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk revolusi dan untuk Peeta, dimanfaatkan oleh Capitol. Peeta and Katniss are both pure, that’s why I understand why Suzanne Collins pairs them in the end. Katniss is the hero while Peeta is the dandelion in the spring.

Di film memang tidak terlalu detil, tapi yang sudah baca bukunya, Peeta punya banyak memorable quotes yang bisa mengalahkan pesona Edward Cullen:

(About Gale) "I was jealous of him before I even officially met you"

"My nightmares are usually about losing you..."

"If you die, and I live, there's no life for me at all back in District Twelve. You're my whole life. I would never be happy again."

Damn, Peeta….are you real or not real?


I don't know if this is on the script or not, but Peeta tugs Katniss' braid is definitely something.
Begitu hebatnya sosok Peeta (sorry, Gale....) sampai salah satu musisi, Jonathan Thulin, pun menulis lagu khusus untuk sang the boy with the bread.


"Throughout the books, Peeta has such an obvious, undying love for Katniss and his motivation is purely love. I'm definitely Team Peeta." 
Josh Hutcherson  (the actor who portrays Peeta Mellark in The Hunger Games movies)