Another apocalypse
movie dengan alien sebagai
penyebabnya. Mengisahkan Cassie, seorang gadis remaja biasa yang harus bertahan
hidup setelah kedatangan alien ke bumi. Alien ini melancarkan serangan bukan
dengan kekerasan, tetapi dengan beberapa cara:
1st wave: mematikan elektromagnetik sehingga
tidak ada lagi listrik dan jaringan komunikasi di bumi.
2nd wave: disaster, seperti gempa dan tsunami
3rd wave: wabah penyakit
4th wave: para alien yang memasuki tubuh manusia
5th wave: ….yah, silahkan nonton hehe…
Bisa dibilang film ini sangat undergrade walaupun diangkat dari novel sci-fi dengan judul sama. Kualitas dan penyajiannya terkesan sangat sederhana dan
terburu-buru. Sewaktu lihat trailernya, kesannya wah dan megah, tapi ketika
ditonton malah amburadul. Ditambah ending
nya yang bikin ‘what the…’ Mungkin lebih baik jika membaca novelnya saja.
Dua hal yang agak bisa dinikmati dari film ini adalah akting
Chloe sebagai Cassie dan background music
nya yang berkesan alien. Other than that, semuanya datar. Bahkan chemistry antara Cassie dan Evan juga gak ada sama sekali. Evan cuma eye-catching saja.
Satu hal yang mengganjal selama nonton film ini. Ayah, ibu,
dan adik Cassie semuanya berambut gelap, kenapa Cassie rambutnya pirang?
Petualangan Thomas dkk setelah berhasil keluar dari Maze.
Awalnya mereka mengira telah aman, namun ternyata bahaya yang lebih besar
menghadang. Kira-kira seperti itulah tema sekuel dari film The Maze Runner.
Bila di film pertama kita melihat bagaimana mereka mencari cara untuk keluar
dari Maze, di film yang kedua ini mereka dihadapkan pada real world.
Sedikit demi sedikit mulai terkuak tentang masa lalu Thomas
walaupun masih ada misteri disana-sini. Termasuk juga apa yang terjadi dengan dunia luar. Menurut saya, The Maze Runner merupakan
film young adult terbaik dengan karakter utama laki-laki.
Setelah disuguhi aksi heroik para perempuan pemberani lewat Divergent dan The
Hunger Games, The Maze Runner bisa dibilang memberikan suasana baru.
Kekuatan utama series The
Maze Runner adalah plotnya yang konsisten dan chemistry antara para pemainnya yang sangat bagus. Persahabatan dan
kekompakan sangat terasa, dua hal yang sangat saya suka dari film ini.
Seperti film pertamanya, The Scorch Trials juga belum
terlalu jauh dari prekuelnya. Ditambah beberapa karakter baru, film kedua ini
memberikan aksi yang lebih tegang. Sebaiknya persiapkan diri anda sebelum
menonton film yang berdurasi dua jam ini karena 30 menit pertama saja adegan aksinya
sudah mulai dan tidak berhenti hingga akhir. Sayang, kan, kalau mesti berhenti cuma karena kebelet hihi...
Yang pasti, tidak sabar menunggu seri akhir dari series ini, Death Cure, yang rencananya
akan tayang tahun depan. Semoga tidak anti-klimaks seperti The Hunger Games.
“You could live a
hundred lifetimes and never deserve that boy.” - Haymitch Abernathy to
Katniss Everdeen
Sewaktu saya share di
Path sedang menonton The Hunger Games, salah satu teman ada yang komen “Don’t like Peeta, though.” Sewaktu film ketiganya
baru akan muncul, saya juga sempat ngobrol dengan teman FB soal Peeta dan
Katniss di film yang lebih kelihatan seperti adik-kakak daripada sepasang
kekasih. Apalagi melihat Liam Hemsworth yang memerankan Gale, saingan Peeta di
film dan di buku untuk merebut hati Katniss. Tinggi, gagah, handsome…dan Peeta yang kecil begitu
hahaha….sorry…
Tapi, justru itu yangmembuat saya penasaran tentang sosok Peeta Mellark di Hunger Games.
Ilustrasi Peeta di novel Hunger Games edisi Britania Raya
Satu hal yang pasti, jangan salahkan Josh Hutcherson yang
memerankan Peeta di film kalau dia tidak tinggi. Di buku pun, bagi yang sudah
baca dan pay attention, Peeta memang
tidak begitu tinggi. Tapi, karena ayahnya seorang pembuat roti, dia sudah
terbiasa membantu ayahnya di toko roti. Mengangkat karung tepung dan alat-alat yang berat,
membuat badannya walaupun kecil, tapi tegap. Dua hal yang cukup oke
diperlihatkan Josh di film. Berambut pirang dan bermata biru. I think
he is good looking too.
Walaupun tidak dijelaskan secara detil di film, berdasarkan Tributes Guide, Peeta cukup mahir menggunakan pisau dan tombak walaupun jarang digunakan karena pada dasarnya ia tidak suka membunuh kecuali dalam keadaan terdesak. Kelebihannya yang lain selain piawai dalam hal membuat roti adalah dalam seni melukis dan dibuktikannya dengan menyamar dan bersembunyi di bawah batu pada saat ia terluka di Hunger Games sebelum ditemukan oleh Katniss.
Josh Hutcherson sebagai Peeta Mellark di franchise film Hunger Games
Kita memang tidak begitu tahu soal latar belakang keluarga
Mellark karena cerita The Hunger Games diceritakan dari sudut pandang Katniss.
Pembaca baru tahu tentang keluarga Peeta dari percakapan Peeta dan Katniss.
Dari sekian banyak tokoh laki-laki di cerita young adult yang akhirnya dijadikan film, Peeta memang
berbeda. Bila kebanyakan diceritakan tangguh dan ready menjadi hero,
Peeta justru kebalikannya. Dia sosok yang sensitif dan baik hati. Berbeda dengan Katniss, he is not a warrior. Dia masuk
Hunger Games memang karena namanya dipanggil dan sudah tahu sejak awal tidak
akan bisa bertahan hingga akhir. Tujuannya hanya untuk melindungi Katniss dan
berusaha agar gadis itu bisa menang dan pulang ke keluarganya.
Suzanne Collins tidak pernah menjelaskan asal nama Peeta, tapi dalam bahasa Latin, pita berarti 'roti'. Masuk akal dengan latar belakang keluarganya yang memang pembuat roti. Ada juga sumber yang menyebutkan namanya berarti 'batu', yang menjadi simbol bahwa ia adalah pondasi bagi Katniss. Dibuktikan dengan Katniss yang mengalami breakdown di Mockingjay ketika mengetahui Peeta disiksa selama ditawan di Capitol.
Peeta di Catching Fire. How can you say no when a guy is looking at you like that?
Latar belakang keluarga Peeta bisa dibilang agak bisa
dijumpai di kehidupan nyata. Punya dua saudara laki-laki, ayah yang baik, tapi
ibu yang tidak begitu baik. Peeta tahu ayahnya mencintai wanita lain (ibunya
Katniss) dan ibunya hanya pilihan yang kedua, maka dia tidak pernah protes
menanggapi sikap ibunya yang dingin dan suka memukulinya. Bisa dibilang Suzanne Collins sebagai pengarang novel memberikan domestic abusehistory untuk Peeta, almost like the things that happen in real life. Hal ini juga yang
membuatnya menjadi pribadi yang sensitif (disebutkan juga sifat Peeta sangat mirip dengan ayahnya yang lembut dan penuh perhatian) dan cenderung menutup diri dan mungkin membuatnya melihat Katniss sebagai sosok yang menggambarkan masa kecil
yang indah dan seiring berjalannya waktu, berharap bisa hidup bersama gadis
pujaannya.
Tidak dijelaskan bagaimana reaksi keluarganya setelah mengetahui Peeta telah menyimpan perasaan kepada Katniss sejak masih kanak-kanak, terlebih lagi dengan sandiwara ia dan Katniss sebagai sepasang kekasih. Di Catching Fire pun dikisahkan Peeta tinggal sendiri di Victor's Village, blok rumah khusus bagi para pemenang Hunger Games, setelah event Hunger Games. Latar belakang keluarga Peeta sebagai Merchant sedangkan Katniss yang berasal dari golongan Seam menjadi momok tersendiri di Distrik 12, walaupun di novel pertamanya digambarkan Peeta tidak peduli terhadap hal itu ketika Katniss menyinggung soal perbedaan status sosial mereka. Keluarga Peeta tewas pada saat pengeboman Distrik 12 menjadikannya satu-satunya keluarga Mellark yang tersisa.
Peeta di Mockingjay
Di Mockingjay, Capitol memang membuatnya menjadi pribadi
yang lain, tapi serapih apapun manusia berusaha, inner power memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekuat apapun
Capitol berusaha membuat Peeta membenci dan membunuh Katniss, pada kenyataannya
ingatan bawah sadarnya yang mencintai Katniss yang membuatnya bisa bertahan.
Walaupun prosesnya sangat lama, tapi akhirnya Peeta bisa kembali ke dirinya
yang dulu.
I, personally, think Catching
Fire Peeta versi film is the best. Selain
terlihat lebih dewasa, terlihat juga lebih charming.
Ditambah situasi yang complicated, membuat
Peeta di film yang kedua lebih endearing.
Hubungan Katniss dan Peeta naik-turun sepanjang cerita Hunger Games. Sifatnya yang sensitif membuatnya tidak bisa melupakan sang gadis walaupun ia tahu Katniss menyimpan perasaan terhadap Gale. Rasa cintanya ia tunjukkan dengan selalu memberi gadis itu dukungan dan berusaha untuk melindunginya sewaktu di arena. Hal ini yang sebetulnya menjadi poin plus. Being in the arena twice, Katniss dan Peeta memiliki hubungan yang sangat kuat. Lebih kuat daripada Katniss yang sudah mengenal Gale bertahun-tahun. Ketika Peeta ditawan Capitol, Katniss berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkannya dan menyadari betapa Peeta lebih berarti baginya dibandingkan dengan Gale.
It needs Capitol to
hijack Peeta to make Katniss realizes how important he is for her. Just like
President Snow said “It’s the things we love most that destroy us.” Memang masuk akal kalau Haymitch, mentor Peeta dan Katniss,
berkata Katniss tidak pernah bisa layak untuk Peeta. Karena walaupun Peeta
berakting seolah-olah ia mencintai Katniss untuk melindungi gadis itu, pada
kenyataannya Peeta memang mencintai Katniss dengan tulus. Berbeda dengan Edward Cullen,
Peeta hanya anak laki-laki biasa (mind
you…Peeta dan Katniss baru berumur 15 tahun di buku Hunger Games
yang
pertama) yang menyukai seorang gadis sejak kecil, terlalu malu untuk
mengajaknya bicara, tapi mau menerima pukulan ibunya ketika ia sengaja
membuat
satu roti gosong agar bisa diberikan pada sang gadis ketika ia
kelaparan. Motivasinya selama cerita Hunger Games bahkan ketika dicuci otak oleh Capitol dan berjuang untuk bertahan pun murni
karena cinta.
So, walaupun kelihatan
sebagai adik-kakak di film, tapi setelah ini mudah-mudahan banyak yang berubah
pikiran haha…modus.
Like I said,
Hunger Games bukan kisah cinta. Yang membuat saya lebih simpati kepada Peeta
adalah karena dia berada di posisi yang sama dengan Katniss ketika mulai berada
di Hunger Games. Just trying to survive
and keep each other alive, tapi akhirnya dimanfaatkan oleh beberapa pihak
untuk revolusi dan untuk Peeta, dimanfaatkan oleh Capitol. Peeta and Katniss are both pure, that’s why I understand why Suzanne
Collins pairs them in the end. Katniss is the hero while Peeta is the dandelion in the spring.
Di film memang tidak terlalu detil, tapi yang sudah baca
bukunya, Peeta punya banyak memorable
quotes yang bisa mengalahkan pesona Edward Cullen:
(About Gale) "I was jealous of him before I even officially met
you"
"My nightmares are usually about losing you..."
"If you die, and I live, there's no life for me at all back in
District Twelve. You're my whole life. I would never be happy again."
Damn, Peeta….are you
real or not real?
I don't know if this is on the script or not, but Peeta tugs Katniss' braid is definitely something.
Begitu hebatnya sosok Peeta (sorry, Gale....) sampai salah satu musisi, Jonathan Thulin, pun menulis lagu khusus untuk sang the boy with the bread.
"Throughout the books, Peeta has such an obvious, undying love for
Katniss and his motivation is purely love. I'm definitely Team Peeta."
Josh Hutcherson
(the actor who portrays Peeta Mellark in The Hunger Games movies)