Selasa, 30 Mei 2017

Apakah Kamu Punya Teman Yang Beda Agama? The Answer is, Yes.




Sejak media sosial viral dengan hate speech yang menyinggung agama dan kepercayaan tertentu dan beberapa teman Facebook saya juga tiba-tiba menjadi anggota kubu ini, saya tidak pernah berniat untuk membuat tulisan yang menyinggung masalah ini. Terlebih lagi ada tulisan Afi yang viral dan ditanggapi beragam, termasuk yang katanya sedang kuliah S2 di Jerman, ditambah lagi sekarang sedang bulan puasa, saya semakin tidak ingin memperuncing keadaan karena berdasarkan pengalaman, debat di media sosial tidak akan membawa perubahan apapun.

Ketika akhirnya saya memutuskan menulis ini adalah karena topik yang sangat menarik muncul di timeline Facebook saya tentang tulisan seseorang yang bertanya ‘Apakah kamu punya teman yang beda agama?’

Jujur saja, topik ini mengguggah saya dan tergerak untuk menuliskan pengalaman saya memiliki teman berbeda agama.

And the answer is, yes.

Saya dilahirkan di keluarga Muslim. Almarhum ayah saya berasal dari Solo, sedangkan ibu saya dari Jatibarang, kecamatan kecil di Kabupaten Indramayu. Kedua orang tua saya sudah bekerja di Jakarta sewaktu saya lahir sehingga saya menghabiskan masa kecil hingga kelas 1 SMP di Jakarta. Pertanyaan tentang teman beda agama inilah yang membuat saya teringat akan masa kecil saya karena di kompleks perumahan tempat saya tinggal, saya justru jadi minoritas. Hampir semua tetangga dan teman-teman saya dari golongan etnis yang sedang ramai dibicarakan pada saat ini dan sudah pasti juga non Muslim. Setiap sore, saya pasti bermain dengan teman-teman sebaya yang sudah pasti agamanya beda dengan saya.

Lalu, apakah jadi masalah?

Tidak.

Saya dibesarkan di keluarga yang mengajarkan saya dan adik-adik untuk berpikiran terbuka. Lingkungan saya mayoritas non Muslim, tapi kami saling menghormati. Almarhum ayah selalu memberi kue pada saat Natal untuk para tetangga dan sebaliknya, mereka juga memberi keluarga saya parsel setiap Hari Raya tiba. Tindakan yang mungkin sepele dan tidak ada artinya, tapi dari sini saya belajar untuk saling menghormati dan menghargai. Saya juga tidak melupakan agama saya sendiri. Saya les mengaji, berpuasa, dan pergi ke mesjid walaupun tidak ada teman yang menemani, paling ditemani oleh asisten rumah tangga.

Di lingkungan sekolah sewaktu saya SD, saya bersekolah di sekolah umum yang sudah pasti tidak semuanya Muslim. Di dekat sekolah saya, ada sekolah swasta dimana teman-teman yang bertetangga dengan saya mayoritas bersekolah di sekolah itu. Saya bahkan memiliki teman baik yang agamanya Kristen dan kami masih berteman baik hingga saat ini. Dia sering ikut saya mudik ke kampung halaman dan sebaliknya, dia sering mengundang saya makan di rumahnya untuk perayaan Natal.

Lalu, apakah jadi masalah?

Tidak.

Kami tetap bermain dan berteman seperti biasa. Tidak ada kata-kata ‘kafir’ atau saling menghujat.

Sewaktu SMP dan keadaan mengharuskan saya pindah ke kampung halaman, pergaulan saya masih stagnan dan juga ada beberapa teman yang berbeda agama, tapi kami berteman baik. Ketika saya mulai SMA, pergaulan saya semakin luas. Di masa-masa ini juga saya kenal teman-teman lawan jenis yang berbeda agama, satu diantaranya bahkan masih menjadi teman baik saya hingga saat ini dan dia beragama Katolik.

Ketika saya sekolah dulu memang belum ada ketentuan yang mengharuskan para siswinya mengenakan kerudung, jadi saya memang masih pakai rok sebatas lutut dan kemeja biasa. Saat ini hampir semua sekolah di daerah saya mengharuskan siswinya mengenakan kerudung yang membuat saya bertanya-tanya bagaimana nasib para siswi yang non Muslim? Tidak semua siswi non Muslim mau bersekolah di sekolah swasta. Belum lagi ada kasus di satu daerah, orang tua siswi non Muslim melaporkan putrinya dilecehkan oleh teman-temannya dengan sebutan ‘kafir’ karena tidak mengenakan kerudung. Sebegitu parahkah intoleransi di negara kita yang dulu sering dipuji oleh negara lain karena bisa rukun walaupun banyak ras, suku, dan agama?

Pada masa kuliah, teman-teman seangkatan beberapa juga non Muslim, tapi kami tetap kompak hingga saat ini.

Sekarang, pada saat saya menjadi penulis, teman-teman saya mayoritas dari luar negeri yang pastinya non Muslim. Apakah saya antipati?

Tidak.

Satu hal lagi, nenek saya dari pihak ibu masih ada keturunan etnis yang saat ini sedang dihina lagi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Terus, saya jadi kafir?

Kita semua masih jadi hambaNya, tidak berhak menilai kadar keimanan seseorang. Ibadah kita kepada Tuhan, tetapi hubungan dengan sesama manusia juga penting, apapun agamanya. Saya tidak yakin apakah tulisan saya ini bisa seviral tulisan Afi, saya hanya tergelitik saja untuk menuliskan pengalaman saya mempunyai teman-teman yang berbeda agama.